Minggu, 14 September 2008

Rencana Produksi Arang PT. CIPTAMAS BUMISUBUR















Saat ini telah dibangun:
  1. bangsal yang mampu memuat 50 tungku sebanyak 5 bangsal
  2. tungku yang telah dan sedang berproduksi sebanyak 4 tungku, masing-masing dengan bahan baku50 ton kayu bakau dapat menghasilkan 12 ton arang/bulan
Target sampai dengan Desember 2008:
  1. diselesaikan sebanyak keseluruhan 50 tungku dan mengahasilkan setiap bulan 500 ton arang
Target sampai dengan Februari 2009:
  1. diselesaikan 100 tungku dengan produksi 1.000 ton arang bakau / bulan

Kamis, 11 September 2008

KETERSEDIAAN LAHAN HTI PT. CIPTAMAS BUMISUBUR


 

No

BLOK

Luas Lahan ( Ha )

Total Luas Lahan

Lahan tersedia

Lahan peruntukan lain

      

1

I Kabupaten Banyuasin

6.000 Ha

6.000 Ha

a. Zona Lindung

17, 5 km

      

2

II Kabupaten Ogan Komering Ilir

1.550 Ha

1.550 Ha

a. Zona Lindung

8,25 km

 

J u m l a h

7.550 Ha

7.550 Ha

 

25,75 km

Sasaran Kegiatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTI Dalam Hutan Tanaman


 

No

Faktor Intern

Satuan

Sasaran

Cara Pencapaian


 

1


 

Tata Batas Areal Kerja dan Pemetaan 


 


 

km

km


 

lembar

lembar

lembar 


 

Penataan Batas :

- Batas sendiri = ± 55 km

- Batas persekutuan =

Pemetaan :

- Peta dasar =

- Peta tata ruang =

- Peta kerja = sesuai kebutuhan


 

- Koordinasi dengan Badan

Planologi Dephut

- Inventarisasi kondisi

Kawasan yang kemudian

Dipetakan.

- Pembuatan peta dengan GIS 

2 

Penataan Areal Kerja 

ha

ha

ha 

Tan.Pokok = 5.285 ha

Kw.Lindung = 1.288 ha

Sarana prasarana = 5 ha

Overlay berbagai kondisi kawasan yang kemudian menentukan peruntukan.

3 

Inventarisasi Tegakan 

ha/daur

ha/daur

ha/daur

588

Dilakukan dengan Intensitas Sampling 0,6-10% sesuai sasaran dan permasalahannya 

4 

Pembukaan wilayah Hutan 

km

km

Unit

Unit 

Kanal besar =

Kanal kecil =

TPn = sesuai jumlah petak

TPK = 1 

Pembuatan desain kanal sesuai dengan kelasnya.

Pembuatan TPn dan TPK sesuai dengan kebutuhannya 

5

Penyiapan Lahan

ha


 

ha

Tanaman Pokok = 5.285 ha

Tanaman pada areal bekas pemanenan = 5.285 ha

Dilaksanakan dengan system mekanis/non mekanis

6 

Pembibitan 

btg/th 

Bibit tanaman pokok = 11.627.000 batang

Membuat areal persemaian permanent yang baik 

7 

Penanaman 

ha/daur 

Tanaman pokok = 5.285 ha

Dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang dibuat.

8 

Pemeliharaan 

ha/daur 

Tanaman pokok = 5.285 ha

Dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang dibuat 

9 

Perlindungan dan Pengaman Hutan 

ha 

Gangguan keamanan kawasan meliputi seluruh areal 

Identifikasi jenis gangguan.

Membentuk satuan pengamanan hutan.

Bekerjasama dengan masyarakat dalam penanganan gangguan kawasan 

10 

Penebangan /pemanenan 

ha/daur

m3/daur

m3/thn 

Luas : 5.285 ha

Tanaman pokok = Bakau + Acacia

Volume : 766.325 m3

Penetapan RIL sebagai hal yang harus dilakukan

11 

Pengolahan dan pemasaran hasil 

m3/daur

m3/thn 

Tanaman pokok = 766.325 m3

Kayu hasil panen akan diserap sebagai bahan baku arang

12 

Pengorganisasian dan tenagakerja

Orang 

300 orang

Pembentukan Organisasi

Pengembangan SDM 

13 

Pembinaan/

Pemberdayaan

Masyarakat Desa

Hutan

Desa


 

Kecamatan 

5 (lima) desa (Ds.Muara, Jalur 21, jalur 18, Jalur 15, Jalur 13.

1 (satu) kecamatan

Memberdayakan kemampuan

Masyarakat dalam turut melestarikan hutan dan lingkungan desa hutan 

14 

Penelitian dan

Pengembangan

Aspek

Penelitian 

7 aspek (tanah, silvikultur, perlindungan tanaman, pengembangan tegakan, manajemen tegakan, social ekonomi dan pasar)

Membentuk bagian Litbang

Menjalin kerjasama dengan Instansi terkait dan perusahaan lainnya. 

15 

Pendidikan dan

Pelatihan

Orang 

20

Mengirim ke pelatihan di luar perusahaan dan in house training. 

16 

Pengadaan Sarana

Dan Prasarana 

4 Unit

6 Unit

2 Unit

6 Unit

1 Unit

Base Camp dan sarana lainnya

Pembuatan Tungku

Peralatan kerja/berat

Kendaraan darat/air

Lain-lain

Realisasi sesuai dengan rencana investasi 

17 

Pengelolaan dan

Pemantauan

lingkungan 

Ha

Ha

Ha

Ha 

Kawasan lindung pantai

Areal efektif unit produksi

Tanaman Pokok

Tanaman Kehidupan 

Mendasarkan pada kajian AMDAL (RKL-RPL)

Hasil evaluasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan

18 

Monitoring dan

Evaluasi 

 

Kawasan lindung = 1.288 ha

Areal efektif =

Tanaman Pokok = 5.285 ha

Tan. Kehidupan = 378 ha

Menetapkan Bagian Satuan Pengawas Internal (SPI) sebagai Lembaga yang melakukan monitoring.

Menggunakan hasil kajian Litbang sebagai bahan pembuatan evaluasi.

Rabu, 10 September 2008

Profil Perusahaan, Lokasi & Data Fisik Areal


View Larger Map

Surat Dirjen Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan Nomor 333/V-HTI/1990 tanggal 28 Maret 1990 tentang Ijin Penanaman Percobaan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK-70/Menhut-II/2005 tanggal 29 Maret 2006 tentang Pemberian Ijin Usaha Pengusahaan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Industri

Areal IUHHPK-HTI Hutan Tanaman PT. CIPTAMAS BUMISUBUR berada pada:
Kelompok Hutan Banyu Asun dan Air Sugihan seluas 7.550 hektar
105o.47'-105o.00' Bujur Timur - 02o.20'-02o.20o Lintang Selatan.

Kecamatan Banyu Asin I Kabupaten Banyasin dan Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir
Propinsi Sumatera Selatan

Topografi 100% datar (0-8%)
Ketinggian 0-3 m dari permukaan laut
Jenis tanah organosol dan glei humus
Curah hujan Tipe A Klasifikasi Iklim Schmidt Ferguson

Jenis tanaman Bakau (Rhizopora sp) dan Tumu (Brugueira sp)

Tanaman Tahun 1991/1992 seluas 716 hektar
Tanaman Tahun 1992/1993 seluas 766 hektar
Tanaman Tahun 1993/1994 seluas 344 hektar
Tanaman Tahun 1994/1995 seluas 322 hektar
Tanaman Tahun 1995/1996 seluas 250 hektar
Tanaman Tahun 2000/2001 seluas 300 hektar

Jumlah luas tanaman 2.698 hektar

Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan

RENCANA KERJA KEMENTERIAN/ LEMBAGA (RENJA–KL)
DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2008

http://www.dephut.go.id/files/Renja_KL%20Dephut%20Tahun%202008.pdf

Pembangunan HTI : Renstra 2005-2009 seluas 5 juta ha dimana tanaman pokok direncanakan sebesar 70% atau seluas 3,5 juta ha, dan terealisasi 2005-2006 seluas 426.221,81 ha. Namun bila diperhitungkan kumulatif realisasi tanaman sejak 1990-2006 seluas 3,57 juta ha.

Lambatnya pembangunan hutan tanaman sejak tahun 1999-2000 antara lain disebabkan berhentinya pendanaan pembangunan HTI dari Dana Reboisasi, ekses otonomi daerah. Pembangunan HT di Indonesia memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan sektor kehutanan.

Investasi di HT saat ini diperkirakan lebih dari 50% dari keseluruhan investasi di bidang kehutanan. Pada periode 1996-2003, 73% dari pertumbuhan kapasitas industri pulp dunia merupakan kontribusi dari tiga negara saja, yaitu Brazil, Indonesia, dan China,meskipun kapasitas industri pulp dari ketiga negara tersebut bersama-sama hanya 10% dari total kapasitas industri pulp dunia.

Untuk IUPHHK hutan tanaman sebanyak 106 unit wajib melakukan program percepatan pembangunan hutan tanaman melalui deliniasi makro dan mikro, telah melakukan :

a. telah mengajukan proses deliniasi makro dan mikro sebanyak 51 unit pemegang IUPHHK-HT, dengan luas areal konsesi yang masih berupa hutan alam (logged over area) seluas 0,75 juta ha.

b. belum mengajukan proses deliniasi makro dan mikro sebanyak 55 unit pemegang IUPHHK-HT, dengan luas areal konsesi yang masih berupa hutan alam (logged over area) seluas 1,06 juta ha.

Dari areal seluas 1,81 juta ha hutan alam tersebut, diharapkan seluas 0,78 juta ha atau 43% akan dikembangkan untuk pembangunan hutan tanaman, dan sisanya seluas 1,03 juta ha atau 57% dipertahankan sebagai kawasan konservasi dalam penataan ruang unit HTI.

Pada 2007 untuk program pembangunan HTR tlah diterbitkan Permenhut P.23/Menhut-II/2007 dan pembentukan Lembaga Keuangan (BLU/Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) dengan Peraturan Menteri kehutanan No.P.31/Menhut-II/2007.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.18/Menhut-II/2005

TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 126/KPTS-II/2003 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1672
http://www.dephut.go.id/informasi/skep/skmenhut/126_03.htm

Pasal 18

(1) Setiap badan usaha, perorangan dan pemegang ijin industri hasil hutan yang akan mengangkut hasil hutan, wajib mengajukan permohonan penerbitan SKSHH kepada P2SKSHH dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

(2) Permohonan penerbitan SKSHH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:

a. Identitas pemohon;

b. DHH;

c. Laporan mutasi hasil hutan (LMKB; LMKBK/Bakau; LMHHOK; LMHHBK; LMHHOBK);

d. Surat pernyataan (untuk setiap permohonan) yang dibuat oleh pemohon untuk setiap tujuan pengangkutan bahwa tujuan pengangkutan tersebut adalah benar dan dapat dipertangungjawabkan secara hukum.

(3) Bagi permohonan pengangkutan lanjutan, selain diwajibkan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menunjukkan SKSHH asal yang asli dan menyerahkan copynya.

Pasal 20

(1) Tatacara penerbitan SKSHH untuk kayu bulat (KB) adalah sebagai berikut:

a. P2SKSHH selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH, wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KB sesuai tatacara pada lampiran III;

b. P2SKSHH sebelum melakukan pemeriksaan fisik, terlebih dahulu wajib:

1) Meneliti DHH yang diajukan untuk memastikan bahwa KB dalam DHH adalah berasal dari LHP-KB yang telah disahkan oleh P2LHP atau berasal dari SKSHH asal yang telah dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB,

2) Mengecek LMKB/posisi persediaan pada saat pengajuan permohonan penerbitan SKSHH.

c. P2SKSHH dalam melakukan pemeriksaan KB, dapat dibantu oleh 1 (satu) orang atau lebih personil yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang pengukuran dan pengujian.

d. Berdasarkan pemeriksaan fisik KB sebagaimana dimaksud pada huruf a, P2SKSHH segera menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH yang dilakukan di lokasi dimana kayu bulat tersebut akan diangkut.

e. Atas SKSHH yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada huruf d, selanjutnya disampaikan kepada pejabat yang membidangi kehutanan di wilayah kerja P2SKSHH tersebut untuk diketahui dan disetujui.

f. Pejabat yang membidangi kehutanan sebagaimana dimaksud huruf e, adalah pejabat struktural yang menduduki jabatan paling rendah eselon III pada Dinas Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

g. Penetapan tanggal mulai berlakunya SKSHH diisi sesuai dengan tanggal pada saat persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf e.

h. Dalam hal alat angkut tidak dapat merapat ke tempat pemuatan/TPK, sehingga proses pemuatan KB ke alat angkutnya dilakukan secara bertahap dan atau memerlukan waktu lebih dari 1 (satu) hari, maka proses pemuatan tersebut dapat dilakukan setelah BAP ditandatangani oleh P2SKSHH, sehingga BAP dan DHH tersebut merupakan bukti proses pemuatan dan berfungsi sebagai bukti keabsahan KB yang diangkut menuju tempat pemuatan sebelum SKSHH diterbitkan.

i. Setelah SKSHH tersebut ditandatangani oleh pejabat yang membidangi kehutanan, P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH Lembar ke-1 dan ke-2 kepada yang berhak/pemohon disertai dengan Berita Acara Serah Terima.

(2) Tatacara penerbitan SKSHH untuk KBK/Bakau adalah sebagai berikut:

a. P2SKSHH selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH, wajib melakukan pemeriksaan administrasi sesuai dengan tatacara pemeriksaan pada lampiran III;

b. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, P2SKSHH terlebih dahulu wajib:

1) Meneliti DHH yang diajukan untuk memastikan bahwa KBK/Bakau dalam DHH adalah berasal dari LHP-KBK/LHP-Bakau yang telah disahkan atau berasal dari SKSHH yang telah dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB,

2) Mengecek LMKBK/Bakau khususnya posisi persediaan pada saat pengajuan permohonan penerbitan SKSHH.

c. P2SKSHH dalam melakukan pemeriksaan KBK/Bakau, dibantu oleh 1 (satu) orang atau lebih personil yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang pengukuran;

d. Berdasarkan pemeriksaan fisik KBK/bakau sebagaimana dimaksud pada huruf a, P2SKSHH segera menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH yang dilakukan di lokasi dimana KBK/Bakau tersebut akan diangkut;

e. Atas SKSHH yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada huruf d, selanjutnya disampaikan kepada pejabat yang membidangi kehutanan di wilayah kerja P2SKSHH tersebut untuk diketahui dan disetujui;

f. Pejabat yang membidangi kehutanan sebagaimana dimaksud huruf e, adalah pejabat struktural yang menduduki jabatan yang paling rendah eselon III pada Dinas Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota;

g. Penetapan tanggal mulai berlakunya SKSHH diisi sesuai dengan tanggal pada saat persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf e;

h. Khusus bagi KBK/Bakau yang digunakan untuk bahan baku industri pulp/chip/arang dalam satu wilayah provinsi dan pengangkutannya dilengkapi FA-BBS/FA-bakau maka SKSHH untuk KBK/Bakau diterbitkan 1 (satu) kali perhari berdasarkan rekapitulasi hasil penimbangan sesuai kumpulan FA-BBS/FA-Bakau (rekapitulasi dari hasil penimbangan dilampirkan), oleh P2SKSHH yang berada di industri serta ditandatangani/disetujui oleh pejabat yang membidangi kehutanan di wilayah kerja P2SKSHH yang bersangkutan;

i. Khusus bagi KBK dari luar provinsi yang digunakan untuk bahan baku industri pulp dan dalam pengangkutannya menggunakan FA-BBS, maka SKSHH diterbitkan untuk setiap bulan oleh P2SKSHH di provinsi asal berdasarkan rekapitulasi hasil penimbangan setiap bulan yang ditandatangani oleh P3KB di industri pulp yang bersangkutan dan selanjutnya ditandatangani/disetujui oleh pejabat yang membidangi kehutanan di wilayah kerja P2SKSHH yang bersangkutan;

j. Setelah SKSHH tersebut ditandatangani oleh pejabat yang membidangi kehutanan, P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH Lembar ke-1 dan ke-2 kepada yang berhak/pemohon disertai dengan Berita Acara Serah Terima;

(3) Tatacara penerbitan SKSHH untuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah sebagai berikut:

a. P2SKSHH selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH, wajib melakukan pemeriksaan administrasi sesuai dengan tatacara pemeriksaan pada lampiran III;

b. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, P2SKSHH terlebih dahulu wajib:

1) Meneliti DHH yang diajukan untuk memastikan bahwa HHBK dalam DHH adalah berasal dari LHP-HHBK yang telah disahkan,

2) Mengecek LMHHBK/posisi persediaan pada pengajuan permohonan penerbitan SKSHH.

c. Berdasarkan pemeriksaan fisik HHBK sebagaimana dimaksud pada huruf a, P2SKSHH segera menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH yang dilakukan di lokasi dimana HHBK tersebut akan diangkut;

d. Atas SKSHH yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, selanjutnya disampaikan kepada pejabat yang membidangi kehutanan di wilayah kerja P2SKSHH tersebut untuk diketahui dan disetujui;

e. Pejabat yang membidangi kehutanan sebagaimana dimaksud huruf d, adalah pejabat struktural yang menduduki jabatan paling rendah eselon III pada Dinas Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota;

f. Penetapan tanggal mulai berlakunya SKSHH diisi sesuai dengan tanggal pada saat persetujuan sebagaimana dimaksud huruf d;

g. Setelah SKSHH tersebut ditandatangani oleh pejabat yang membidangi kehutanan, P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH Lembar ke-1 dan ke-2 kepada yang berhak/pemohon disertai dengan Beita Acara Serah Terima.

(4) Tatacara penerbitan FA-BBS dan FA-Bakau untuk KBK/Bakau adalah sebagai berikut:

a. KBK/Bakau yang akan diterbitkan FA-BBS dan FA-Bakau untuk pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (12) adalah KBK/Bakau yang telah disahkan LHP-nya;

b. Penerbitan FA-BBS dan FA-Bakau dilakukan oleh petugas perusahaan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi setempat berdasarkan usulan dari Direksi perusahaan yang bersangkutan;

c. Terhadap KBK/Bakau yang telah disahkan LHP-nya sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila akan diangkut dilakukan pengukuran kembali oleh petugas penerbit FA-BBS/FA-Bakau dengan menggunakan ukuran stapel meter;

d. Pengukuran sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan di tempat pengumpulan terbuka yang memudahkan dilakukan pengukuran, namun apabila kondisi lapangan tidak dimungkinkan maka pengukuran dapat dilakukan pada saat KBK/bakau setelah dimuat di atas alat angkut truk;

e. Berdasarkan hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c, maka petugas penerbit segera menerbitkan FA-BBS/FA-Bakau;

f. Dalam hal KBK/Bakau segera akan diangkut namun LHP-nya belum disahkan, maka untuk pembuatan dan pengesahan LHP, dan penerbitan FA-BBS/FA-Bakau, pengukurannya dapat dilakukan bersamaan setelah KBK/Bakau telah berada di atas alat angkut truk;

g. Bagi KBK yang berasal dari perusahaan pemasok yang merupakan grup dari perusahaan industri pulp, maka FA-BBS yang digunakan dalam pengangkutannya adalah FA-BBS atas nama perusahaan industri bersangkutan;

h. Bagi KBK yang berasal dari perusahaan pemasok di luar grup perusahaan industri pulp, maka dalam pengangkutannya dapat menggunakan FA-BBS atas nama perusahaan industri bersangkutan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Direktur Jenderal;

i. Pengisian FA-BBS atau FA-Bakau dapat dilakukan dengan tulis tangan.

(5) Tatacara penerbitan SKSHH untuk Kayu Olahan (KO) adalah sebagai berikut:

a. P2SKSHH selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja setelah menerima permohonan penerbitan SKSHH, wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KO sesuai tatacara pada lampiran III;

b. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, P2SKSHH terlebih dahulu wajib:

1) Meneliti DHH yang diajukan untuk memastikan bahwa KO dalam DHH adalah berasal dari produksi yang sah atau bersumber dari SKSHH yang telah dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB/P3KG/P3KL,

2) Mengecek LMHHOK/posisi persediaan pada saat pengajuan permohonan penerbitan SKSHH.

c. P2SKSHH dalam melakukan pemeriksaan KO, dibantu oleh 1 (satu) orang atau lebih personil yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang pengukuran dan pengujian;

d. Berdasarkan pemeriksaan fisik KO sebagaimana dimaksud pada huruf a, P2SKSHH setempat segera menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH yang dilakukan di lokasi dimana KO tersebut akan diangkut;

e. Atas SKSHH yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada huruf d, selanjutnya disampaikan kepada pejabat yang membidangi kehutanan di wilayah kerja P2SKSHH tersebut untuk diketahui dan disetujui;

f. Pejabat yang membidangi kehutanan sebagaimana dimaksud huruf e, adalah pejabat struktural yang menduduki jabatan yang paling rendah eselon III pada Dinas Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota;

g. Penetapan tanggal mulai berlakunya SKSHH diisi sesuai dengan tanggal pada saat persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf e;

h. Setelah SKSHH tersebut ditandatangani oleh pejabat yang membidangi kehutanan, P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH Lembar ke-1 dan ke-2 kepada yang berhak/pemohon disertai dengan Beita Acara Serah Terima;

i. Bagi penerbitan SKSHH atas hasil hutan yang berasal dari wilayah kerja Perhutani untuk provinsi di wilayah Jawa, maka pejabat yang memberikan persetujuan adalah pejabat struktural pada Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) setempat yang ditunjuk oleh Kepala KPH bersangkutan;

(6) Pengangkutan kayu bulat, kayu olahan maupun HHBK yang karena sesuatu hal tidak efisien dalam pengangkutan yang disebabkan faktor alam atau hambatan dalam pengangkutan, maka pelaksanaan pengangkutan diatur secara khusus oleh Kepala Dinas Provinsi.

3. Ketentuan Pasal 21 ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

(4) Peruntukan dokumen SKSHH diatur sebagai berikut :

a. Lembar ke-1 dan ke-2
Lembar ke-1 dan ke-2 melengkapi bersama-sama hasil hutan yang diangkut. Setelah sampai di tempat tujuan dan diperiksa oleh P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK, lembar ke-1 disampaikan ke Dinas Kebupaten/Kota dan diteruskan ke Dinas Provinsi setempat. Lembar ke-2 menjadi arsip penerima hasil hutan.
Berdasarkan SKSHH lembar ke-1 dan lembar ke-4, Dinas Provinsi selanjutnya membuat rekapitulasi SKSHH yang masuk dan diterima di wilayah provinsi untuk diinformasikan kepada Dinas Provinsi asal hasil hutan;

b. Lembar ke-3
Lembar ke-3 untuk Kepala BSPHH asal hasil hutan; Atas lembarke-3 yang diterima, BSPHH melakukan penelaahan dengan melakukan cek silang dengan SKSHH lembar ke-7 dan laporan penggunaan SKSHH yang ada di Dinas Provinsi asal hasil hutan. Hasil telaahan selanjutnya dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi bersangkutan;

c. Lembar ke-4
Lembar ke-4 untuk Kepala Dinas Provinsi tujuan pengangkutan, dan digunakan untuk bahan pengecekan dengan lembar ke-1 yang diterima, dan terhadap SKSHH lembar ke-4 setiap bulan dibuat rekapitulasinya untuk disampaikan kepada Dinas Provinsi asal hasil hutan;

d. Lembar ke-5
Lembar ke-5 untuk arsip P2SKSHH tempat asal hasil hutan dan digunakan sebagai dasar pembuatan laporan penggunaan SKSHH.

e. Lembar ke-6
Lembar ke-6 untuk arsip perusahaan yang menggunakan SKSHH di tempat asal hasil hutan.

f. Lembar ke-7
Lembar ke-7 untuk Kepala Dinas Provinsi asal hasil hutan, dan digunakan sebagai dasar untuk cek silang dengan laporan penggunaan/penerbitan SKSHH dari P2SKSHH dan rekapitulasi penerimaan SKSHH lembar ke-4 yang dibuat oleh Kepala Dinas Provinsi tujuan pengangkutan hasil hutan.

P2SKSHH wajib mengirimkan lembar-lembar SKSHH tersebut sesuai dengan peruntukannya.

4. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 29

(1) Setiap kayu olahan berupa kayu gergajian, serpih/chip, veneer, kayu lapis (plywood), laminated veneer lumber (LVL), yang akan diangkut dari dan ke industri kayu, wajib dilengkapi SKSHH.

(2) Pengangkutan kayu olahan berupa kayu gergajian, serpih/chip, kayu lapis (plywood) dari tempat penampungan, wajib dilengkapi SKSHH, kecuali untuk tujuan konsumen akhir atau toko bangunan dan lain-lain (tidak untuk diolah lagi) dan masih dalam wilayah Kabupaten/Kota tidak perlu menggunakan SKSHH, tetapi cukup menggunakan nota/faktur perusahaan bersangkutan.

(3) Setiap pengangkutan kayu olahan berupa moulding, dowel, pintu, jendela, furniture, pulp, produk berbahan kayu limbah industri kayu dan barang jadi lainnya, tidak perlu menggunakan SKSHH, tetapi cukup menggunakan nota/faktur perusahaan penjual/pengirim.

(4) Setiap pengangkutan arang kayu yang berasal dari industri pengolahan yang akan diangkut ke sentra industri atau tempat pengumpulan, tidak menggunakan dokumen SKSHH.

(5) Setiap pengangkutan hasil hutan bukan kayu yang telah diolah, yang berasal dari dalam dan atau luar kawasan hutan, tidak menggunakan dokumen SKSHH.

(6) Setiap pengangkutan hasil hutan bukan kayu yang belum diolah (masih mentah), yang berasal dari luar kawasan hutan, tidak menggunakan dokumen SKSHH.

(7) Pengaturan pengangkutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), diatur lebih lanjut oleh Dinas Provinsi.

(8) Tata cara penerbitan SKSHH hasil hutan bukan kayu mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam Pasal 18 dan Pasal 20 ayat (3).

5. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 30

(1) Kayu olahan yang dapat diterbitkan SKSHH adalah kayu olahan yang berasal dari sumber yang sah;

(2) Permohonan penerbitan SKSHH ditujukan kepada P2SKSHH dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat;

(3) Tata cara permohonan penerbitan SKSHH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagaimana tersebut dalam Pasal 18;

(4) Tata cara penerbitan SKSHH diatur sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 ayat (5).

6. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 36

(1) Dalam pelaksanaan ekspor hasil hutan melalui pelabuhan umum, pengangkutan menuju pelabuhan wajib dilengkapi dengan dokumen (SKSHH atau nota/faktur perusahaan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.

(2) SKSHH atau nota/faktur sebagaimana dimaksud ayat (1) digunakan sebagai dasar pengisian Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

(3) Untuk pelaksanaan ekspor yang menggunakan SKSHH, maka SKSHH lembar ke-1 dan lembar ke-2 oleh perusahaan eksportir, wajib diserahkan kepada petugas Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat untuk dimatikan dan selanjutnya perusahaan eksportir bersangkutan wajib menyerahkan lembar ke-1 SKSHH kepada Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota dimana Kantor Pelayanan Bea dan Cukai berada pada setiap akhir bulan, dan lembar ke-2 SKSHH diserahkan kepada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai sebagai bukti hasil hutan yang diekspor adalah sah.

(4) Untuk pelaksanaan ekspor yang menggunakan nota/faktur perusahaan, maka pelaksanaannya dapat menyesuaikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Semua badan usaha atau perorangan yang melaksanakan ekspor hasil hutan, setiap bulan wajib melaporkan realisasi ekspor kepada Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Direktur Jenderal dan Kepala Dinas Provinsi selambat-lambatnya tanggal 5 (lima) bulan berikutnya.

7. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 58

(1) Jika terdapat perbedaan antara fisik berupa jumlah, jenis, dan atau volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki dengan dokumen angkutan sah yang menyertainya, maka terhadap seluruh partai hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal 4 April 2003.

Pasal II

Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Mangrove dan Keanekaragaman Hayati

Chairil Anwar dan Hendra Gunawan
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007


Mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung (Nirarita et al., 996). Gunawan (1995) menemukan 12 jenis satwa melata dan amphibia, 3 jenis mamalia, dan 53 jenis burung di hutan mangrove Arakan Wawontulap dan Pulau Mantehage di Sulawesi Utara. Hasil survey Tim ADB dan Pemerintah Indonesia (1992) menemukan 42 jenis burung yang berasosiasi dengan hutan mangrove di Sulawesi. Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996). Kalong (Pteropus vampyrus), monyet (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristatus), bekantan (Nasalis larvatus), kucing bakau (Felis viverrina), luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan garangan (Herpetes javanicus) juga menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain biawak (Varanus salvator), ular belang (Boiga dendrophila), ular sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996).

Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), bintayung (Freagata andrew-si), kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kowak merah (Nycticorax caledonicus), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis hitam (Plegadis falcinellus), bangau hitam (Ciconia episcopus), burung duit (Vanellus indicus), trinil tutul (Tringa guitifer), blekek asia (Limnodromus semipalmatus), gegajahan besar (Numenius arquata), dan trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, kuntul perak (E. intermedia), kuntul putih besar (E. alba), bluwok (Ibis cinereus), dan cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988).

Foto hutan tanaman Agustus 2008

Foto hutan tanaman Agustus 2008
lahan yang dibersihkan untuk pembangunan tungku pembuatan arang, di latar belakang hutan tanaman yang sangat rapat dengan diameter 10-15 cm